Minggu, 22 Januari 2012

STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI PANTAI GERUPUK LOMBOK TENGAH


Latar Belakang
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur (Efendy, 2009). Saat ini hutan mangrove mudah mengalami degradasi, dimana luasnya mudah berkurang sehingga banyaknya daerah pantai yang mengalami abrasi. Penyebab kerusakan tersebut diakibatkan oleh adanya konflik kepemilikan lahan, konversi lahan hutan mangrove menjadi lahan pertanian, pemukimaan, budidaya, tambak, perkembangan teknologi yang membuat lahan mangrove menjadi lahan industri, pemanfaatan kayu, dan lain-lain.
            Pantai Gerupuk merupakan salah satu pantai yang berada di kawasan Lombok Tengah yang mempunyai hutan mangrove yang cukup luas. Karena belum pernah diteliti, maka perlu dilakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan hutan mangrove di Pantai Gerupuk, Lombok Tengah.

Metode
            Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode wawancara yang ditujukan pada masyarakat setempat, serta pengamatan hutan mangrove secara langsung.

Hasil dan Pembahasan
Hasil
            Hasil wawancara yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Karakter
Keterangan

Sumber
Mangrove di pantai Gerupuk merupakan hasil penanaman oleh masyarakat berdasarkan program penanaman mangrove Pemerintah Lombok Tengah. Program penanaman ini dilakukan dua kali, yakni pada tahun 2004 dan 2006.



Kondisi
Kondisi hutan mangrove bisa dikatakan dalam keadaan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari indikator luas, kerimbunan, dan lain-lain. Walaupun begitu, pada beberapa tempat di wilayah hutan mangrove yang dekat dengan pemukiman terdapat sampah-sampah yang dibuang oleh masyarakat.
Kondisi hutan mangrove yang cukup baik dikarenakan oleh mata pencaharian masyarakat yang tidak berorientasi pada hutan mangrove.
Pada dua lokasi yang saling berdekatan, terdapat wilayah hutan mangrove yang sudah ditebang dan dibabat dengan bersih. Hal ini dikarenakan di lokasi tersebut hendak dibangun Kantor Desa dan puskesmas.
Jenis Mangrove yang ditemukan
Jenis mangrove yang ditemukan di pantai Gerupuk meliputi Avicenia marina, Avicenia lanata, Soneratia casiolaris, Soneratia alba, Rhizopora mucronata, Rhizopora apiculata, Rhizopora stylosa, dan Ceriops tagal.


Pemanfaatan
Pemanfaatan mangrove di pantai Gerupuk berupa pemanfaatan sebagai kayu bakar dan bahan bangunan, namun dalam kondisi yang masih terkontrol.
Pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar biasanya digunakan dari mangrove hasil penebangan di lokasi pembangunan (Kantor Desa dan puskesmas).

Masyarakat
Mata pencaharian masyarakat seperti nelayan, budidaya ikan, udang, dan rumput laut, beternak sapi, berdagang, dan lain-lain.
Mata pencaharian masyarakat yang tidak berorientasi pada mangrove menyebabkan mangrove di pantai Gerupuk tetap lestari.

Usaha pelestarian
Masyarakat berperan penting dalam pelestarian mangrove dengan penduan dari kepala dusun. Usaha pelestarian seperti penanaman kembali mangrove pada wilayah hutan mangrove yang kosong atau wilayah yang tumbuhan mangrovenya mengalami kematian.

Pembahasan
            Mangrove di pantai Gerupuk, Lombok Tengah merupakan hutan mangrove yang berasal dari program penanaman mangrove oleh Pemerintah Lombok Tengah. Penanaman ini dilakukan sebanyak dua kali, yakni pada tahun 2004 dan 2006.
            Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, kondisi hutan mangrove di daerah ini masih cukup baik, namun pada dua lokasi yang berdampingan terdapat hutan mangrove yang telah ditebang guna sebagai lokasi pembangunan Kantor Desa dan Puskesmas. Hal ini kurang baik untuk mendukung keseimbangan ekosistem mangrove ke depan, sehingga perencanaan pembangunan infrastruktur desa perlu dikaji lebih dalam agar tidak mengganggu ekosistem lain.
Pelestarian mangrove di Pantai Grupuk berbasis masyarakat, yakni melibatkan masyarakat setempat dalam proses pengelolaannya. Dengan dikoordinir oleh pemerintah tingkat Desa, penanaman mangrove dilakukan pada tempat-tempat kosong di kawasan hutan mangrove. Benih yang ditanam berupa biji mangrove secara langsung serta benih berupa tumbuhan muda yang telah disemai terlebih dahulu.
            Walaupun pengelolaan yang diterapkan berbasis masyarakat, terdapat beberapa kekurangan yang dapat dilihat pada sistem pengelolaan yang diterapkan oleh pemerintah Desa di Pantai Gerupuk. Beberapa kekurangan yang dimaksud antara lain adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya ekosistem mangrove secara ekologis. Hal ini dapat dilihat pada beberapa sikap masyarakat yang seolah tak acuh terhadap lingkungan mangrove. Pembuangan sampah di beberapa tempat di areal mangrove, serta penebangang pohon mangrove untuk bahan bangunan menjadi indikator kurangnya pemahaman masyarakat ini. Jika terus dibiarkan, maka hal ini akan berakibat pada kerusakan ekosistem mangrove.
            Pengenalan akan pentingnya mangrove bagi keseimbangan ekosistem pesisir dapat dilakukan oleh instansi terkait melalui sosialisasi secara langsung kepada masyarakat. Selain itu, pengelolaan dan pelestarian mangrove membutuhkan peranan dari Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat dan swasta.
           
Simpulan
            Mangrove di Pantai Grupuk mempunyai kondisi yang cukup baik, dimana sistem pengelolaan yang diterapkan berbasis masyarakat. Kekurangan dari penerapan sistem ini adalah masyarakat yang kurang mengetahui pentingnya mangrove secara ekologis. Hal ini mengakibatkan masyarakat masih melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat mengancam ekosistem mangrove. Solusi yang ditawarkan adalah dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara langsung, serta melibatkan pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam pengelolaan dan pelestariannya.

DAFTAR PUSTAKA

Efendy, Eko. 2009. Ekosistem Mangrove [Serial Onlie].
Ekosistem mangrove : http://perikananunila.wordpress.com/2009/07/31/ekosistem-mangrove/. Diunduh Pada tanggal 19 Sept 2011.

Santoso, Harry. 2011. SEMINAR NASIONAL “Penyelamatan Ekosistem Mangrove dalam Mewujudkan Kelestarian Hutan”. Jakarta.

 

 

MUTASI PADA PEMULIAAN TANAMAN BUNGA KRISAN SEBAGAI AWAL TERJADINYA EVOLUSI


Evolusi merupakan perubahan secara bertahap dari kondisi yang satu ke kondisi yang lain. Di mana hal ini tentunya membutuhkan waktu yang sangat lama. Adapun lima tipe yang menyebabkan terjadinya proses evolusi, diantaranya :.
a.    Mutasi gen
b.    Perubahan dalam struktur dan jumlah kromosom
c.    Rekombinasi genetic
d.    Seleksi alam
e.    Isolasi reproduksi.
Dalam perkembangannya, telah banyak teori-teori tentang evolusi. Namun, ide tentunya belum cukup kalau tidak dapat dibuktikan dengan bukti. Maka banyak dilakukan ekspedisi ke banyak Negara untuk membuktikan tentang adanya evolusi tersebut.
Bukti dari Genetika
Manusia mapu melakukan penyilangan/hibridasi terhadap tumbuhan atau hewan unutk menghasilkan varietas-varietas baru selain itu diketahui bahwa hereditas merupakan materi dasar unutk terjadinya evolusi.
Mutasi Dalam Pemuliaan Tanaman
Pada dasrnya proses evolusi pada tanaman berlangsung secara terus menerus di alam. Oleh karena itu banyak orang yang beranggapan bahwa keragaman dari tanaman pada saat ini merupakan hasil proses mutasi.
Mutasi merupakan perubahan materi genetic sel tunggal maupun kumpulan kromosom. Proses mutasi ini dapat terjadi di semua bagian pada tumbuhan, terutama pada bagian yang sedang aktif untuk tumbuh (mengalami pembelahan sel).
Mutasi gen dapat terjadi dua arah, yakni dari dominan ke resesif maupun sebaliknya. Namun mutasi gen ini lebih sering terjadi disbanding gen dominan. Bila gen dominan heterozigot mengalami mutasi, maka akan langsung dapat diketahui perubahannya. Namun unutk gen dominan heterozigot yang hanya satu mengalami mutasi, baru dapat dilihat perubahan yang akan terjadi, dan dapat dilihat perubahannya pada keturunannya.
Pemuliaan Tanaman Krisan Melalui Induksi Radiasi
Bunga krisan merupakan bunga majemuk, dimana di dalam satu bonggol terdapat bunga cakram yang berbentuk tabung dan bunga tepi yang berbentuk pita. Bunga tabung dapt berkembang daenga warna yang sama atau berbeda dengan bunga pita. Bunga krisan yang dikenal saat ini merupakan hibrida-hibrida yang kompleks yang berasal dari pemuliaan tanaman selama puluhan tahun
Untuk meningkatkan keragaman wrana bunga krisan local maupun introduksi yang ada, dapat dilakukan dengan induksi radiasi Iaea (1992) telah membuktikan bahwa hasil mtasi induksi radiasi memiliki nilai pasar yang cukup tinggi.
Pemuliaan tanaman melalui induksi radiasi merupakan suatu percobaan trial and error. Hasil penelitian Silvy et Mitteau (1985) dan Soertini (1992a) Dalam Soertini (1992) menunjukkan bahwa presentase mutan yang dihasilkan tanaman teluki dan gladiol meningkat apabila diberi radiasi sinar gamma yang diulang atau ganda dari dosis rendah, kemudian setelah 24 jam diradiasi kembali dengan dosis tinggi, tetapi perlakuan radiasi tunggal yang dilakukan oleh Soertini (1992) terhadap bibit Alpinia purpurata  mempunyai pengaruh yang lebih positifd dibandingkan dengan radiasi yang diulang. Mutan yang yang dihasilkan berupa tanaman dengan warna dan ukuran rata-rata sama dengan kontrol, tetapi warna bunga merah menjadi putih dan puith dengan pinggir merah.
Menurut De Jong (1995) induksi radiasi dapat merubah warna bunga sesuai skema berikut ini:
Bunga merah jambu            Bunga merah


Bunga putih                Bunga kuning

Hasil penelitian Badriah dan Soedjono (1991) mengemukakan bahwa induksi radiasi sinar gamma dengan dosis 100 gy pada krisan pot c.v. autum glory, ternyata dapat mengubah warna bunga putih tepi ungu menjadi kuning. Untuk memperoleh warna-warna bunga yang lain perlu dilakukan percobaan-percobaan dengan dosis dan teknik pemberian radiasi yang berbeda terhadap-bibit krisan yang lain.
Berarti dengan induksi sinar radiasi sinar gamma dapat menciptakan peluang untuk mendapatkan mutan-mutan yang lebih banyak dan dengan waktu yang relatif singkat bila mutan yang telah dihasilkan ini dapat dijadikan sebagai tanaman induk guna diambil stek pucuknya untuk pembudidayaan krisan berikutnya. Dengan demkian diharapkan produksi krisan dapat ditingkatkan.